PROSEDUR PERUBAHAN
Mudah tidaknya prosedur perubahan dilaksanakan, mendapat perhatian yang penting dalam studi hukum tata negara. Bahkan, telaah mengenai tipologi konstitusi dikaitkan oleh para ahli dengan sifat rigid atau fleksibelnya suatu naskah Undang-Undang Dasar menghadapi tuntutan perubahan. Jika suatu konstitusi mudah diubah, maka konstitusi tersebut bersifat fleksibel , tetapi jika sulit mengubahnya maka konstitusi tersebut disebut rigid atau kaku.
Kadang-kadang, kekakuan suatu Undang-Undang Dasar dikaitkan dengan tingkat abstraksi perumusannya ataupun dengan rinci tidaknya norma aturan dalam konstitusi itu dirumuskan. Kalau Undang-Undang Dasar itu hanya memuat garis besar ketentuan yang bersifat umum, maka konstitusi itu juga kadang-kadang disebut soepel dalam arti lentur dalam penafsirannya. Makin umum dan abstrak perumusannya, maka makin soepel dan fleksibel penafsiran Undang-Undang Dasar itu sebagai hukum dasar.
Namun, karena tingkat abstraksi perumusan hukum dasar dianggap sebagai sesuatu yang niscaya, maka soal prosedur perubahanlah yang dianggap lebih penting dan lebih menentukan kaku atau rigid tidaknya suatu Undang-Undang Dasar . makin ketat prosedur dan makin rumit mekanisme perubahan, makin rigid tipe konstitusi itu disebut.
Adapun cara yang dapat digunakan untuk mengubah Undang-Undang Dasar atau Konstitusi melalui jalan penafsiran , menurut K. C. Wheare ada empat (4) macam cara melalui :
1.Beberapa kekuatan yang bersifat primer (Some primary forces)
2.Perubahan yang diatur dalam konstitusi (Formal amendment)
3.Penafsiran secara hukum (Judicial interpretation)
4.Kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (Usage and convention)
Sementara itu, menurut Miriam Budihardjo, ada empat (4) macam prosedur dalam perubahan konstitusi, yaitu :
1.Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat diterapkan quorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan Undang-Undang Dasar dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerimanya.
2.Referendum atau Plebisit
3.Negara-negara bagian dalam negara federal (Misal Amerika Serikat; ¾ dari negara-negara bagian harus menyetujui);
4.Musyawarah khusus (Special convention)
Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh DF. Strong. Ia mengatakan bahwa prosedur perubahan konstitusi-konstitusi ada empat (4) macam cara perubahan, yaitu ;
1.Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasanaan legislatif , akan tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu.
2.Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum.
3.Perubahan konstitusi dan ini berlaku dalam negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara bagian.
4.Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Kelsen yang menurutnya perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan 2 model, yaitu :
1.Perubahan yang dilakukan di luar kompetensi organ legislatif biasa yang dilembagakan oleh konstitusi tersebut, yaitu suatu organ khusus yang hanya kompeten untuk mengadakan perubahan-perubahan konstitusi ;
2.Dalam sebuah negara federal, suatu perubahan konstitusi bisa jadi harus disetujui oleh dewan perwakilan rakyat dari sejumlah negara anggota tertentu
MEKANISME KONSTITUSI INDONESIA
Jika diamati dalam UUD 1945 menyediakan satu pasal yang berkenaan dengan cara perubahan UUD, yaitu pasal 37 yang menyebutkan :
(1). Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir.
(2). Putusan diambil dengan persetujuan sekirang-kirangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Pasal 37 tersebut mengadung 3 (tiga) norma, yaitu :
1.Bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai lembaga tertinggi negara
2.Bahwa untuk mengubah UUD, kuorum yang harus dipenuhi sekurang-kurangnya adalah 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR
3.Bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir.
Undang-Undang Dasar 1945. pasal 37 ini, jika dihadapkan pada klasifikasi yang disampaikan oleh KC. Wheare, merupakan bentuk konstitusi bersifat “tegar”, karena selain tata cara perubahannya yang tergolong sulit, juga karena dibutuhkannya suatu prosedur khusus yakni dengan cara by the people through a referendum. Kesulitan perubahan tersebut tampak semakin jelas di dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, dengan berlakunya ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 jo UU No. 5 Tahun 1985 yang mengatur tentang referendum.
Akan tetapi kesulitan perubahan konstitusi tersebut, menurut KC. Wheare, memiliki motif-motif tersendiri, yaitu :
1.Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan dan dengan sadar (dikehendaki).
2.Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan padangannya sebelum perubahan dilakukan
3.Agar - dan ini berlaku di negara serikat - kekuasaan negara serikat dan kekuasaan negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan-perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.
4.Agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.
Tingginya tingkat kesulitan untuk mengubah UUD 1945 ini menyebabkan kesulitan dalam menambahkan aspek-aspek yang diperlukan dalam suatu konstitusi. Oleh karenanya, ketika masa orde baru berkuasa, dibuat ketetapan-ketetapan yang memuat prinsip-prinsip konstitusi yang tidak termuat dalam UUD 1945. munculnya ketetapan-ketetapan tersebut dianggap oleh sebagian pakar ketatanegaraan sebagai solusi alternatif untuk memperbaiki kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, misalnya saja TAP MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Melihat realitas dan kondisi UUD 1945, terutama dengan mengacu pada pasal 37, seklaipun termasuk dalam kategori konstitusi yang sulit dilakukan perubahan, tetapi sebenarnya terdapat peluang dan kemungkinan dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945. akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah perubahan itu bersifat total (renewal) ataukah hanya amandement.
Dua sistem perubahan tersebut memang mendapatkan perhatian serius dari pakar ketetanegaraan. Sebagian pihak menghendaki perubahan UUD 1945 dilakukan secara total yakni membentuk konstitusi baru untuk menggantikan UUD 1945. kelompok ini berargumentasi bahwa UUD 1945 isinya sudah tidak sesuai dengan kondisi politik dan ketatanegaraan di Indonesia, sehingga dibutuhkan konstitusi baru pengganti UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly.2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press
Azra, Azyumardi.2003, Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyrakat Madani. Jakarta : Prenada Media
Budiarjo, Miriam. 2001, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka
Chaidir, Alydar. 2007, Hukum dan Teori Konstitusi. Jakarta : Kreasi Total Media Yogyakarta
http/ww.transportasi.or.id/kajian/kajian10babIV.html
http/www.umy.ac.id/hukum/download/beni-relevasi%20komisi%20konstitusi,PDF
Radjab, Dasril. 1994, Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Thaib, Dahlan, dkk. 2005, Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar